Jumat, 26 Januari 2024

Legenda Roro Jonggrang



 

Pengarang   : Budi Sardjono

Editor            : Ratna Mariastuti

Penerbit        : DIVA Press

Tahun             : 2013

Tempat          : Yogyakarta

Alkisah, pada dahulu kala terdapat sebuah kerajaan besar yang bernama Prambanan. Rakyatnya hidup tenteran dan damai. Tetapi, apa yang terjadi kemudian? Kerajaan Prambanan diserang dan dijajah oleh negeri Pengging. Ketentraman Kerajaan Prambanan menjadi terusik. Para tentara tidak mampu menghadapi serangan pasukan Pengging. Akhirnya, kerajaan Prambanan dikuasai oleh Pengging, dan dipimpin oleh Bandung Bondowoso.

Bandung Bondowoso seorang yang suka memerintah dengan kejam. “Siapapun yang tidak menuruti perintahku, akan dijatuhi hukuman berat!”, ujar Bandung Bondowoso pada rakyatnya. Bandung Bondowoso adalah seorang yang sakti dan mempunyai pasukan jin. Tidak berapa lama berkuasa, Bandung Bondowoso suka mengamati gerak-gerik Loro Jonggrang, putri Raja Prambanan yang cantik jelita. “Cantik nian putri itu. Aku ingin dia menjadi permaisuriku,” pikir Bandung Bondowoso.

Esok harinya, Bondowoso mendekati Roro Jonggrang. “Kamu cantik sekali, maukah kau menjadi permaisuriku ?”, Tanya Bandung Bondowoso kepada Roro Jonggrang. Roro Jonggrang tersentak, mendengar pertanyaan Bondowoso. “Laki-laki ini lancang sekali, belum kenal denganku langsung menginginkanku menjadi permaisurinya”, ujar Loro Jongrang dalam hati. “Apa yang harus aku lakukan ?”. Roro Jonggrang menjadi kebingungan. Pikirannya berputar-putar. Jika ia menolak, maka Bandung Bondowoso akan marah besar dan membahayakan keluarganya serta rakyat Prambanan. Untuk mengiyakannya pun tidak mungkin, karena Loro Jonggrang memang tidak suka dengan Bandung Bondowoso.

“Bagaimana, Roro Jonggrang ?” desak Bondowoso. Akhirnya Roro Jonggrang mendapatkan ide. “Saya bersedia menjadi istri Tuan, tetapi ada syaratnya,” Katanya. “Apa syaratnya? Ingin harta yang berlimpah? Atau Istana yang megah?”. “Bukan itu, tuanku, kata Roro Jonggrang. Saya minta dibuatkan candi, jumlahnya harus seribu buah. “Seribu buah?” teriak Bondowoso. “Ya, dan candi itu harus selesai dalam waktu semalam.” Bandung Bondowoso menatap Roro Jonggrang, bibirnya bergetar menahan amarah. Sejak saat itu Bandung Bondowoso berpikir bagaimana caranya membuat 1000 candi. Akhirnya ia bertanya kepada penasehatnya. “Saya percaya tuanku bias membuat candi tersebut dengan bantuan Jin!”, kata penasehat. “Ya" , benar juga usulmu, siapkan peralatan yang kubutuhkan!”

Setelah perlengkapan di siapkan. Bandung Bondowoso berdiri di depan altar batu. Kedua lengannya dibentangkan lebar-lebar. “Pasukan jin, Bantulah aku!” teriaknya dengan suara menggelegar. Tak lama kemudian, langit menjadi gelap. Angin menderu-deru. Sesaat kemudian, pasukan jin sudah mengerumuni Bandung Bondowoso. “Apa yang harus kami lakukan Tuan ?”, tanya pemimpin jin. “Bantu aku membangun seribu candi,” pinta Bandung Bondowoso. Para jin segera bergerak ke sana kemari, melaksanakan tugas masing-masing. Dalam waktu singkat bangunan candi sudah tersusun hampir mencapai seribu buah.

Sementara itu, diam-diam Roro Jonggrang mengamati dari kejauhan. Ia cemas, mengetahui Bondowoso dibantu oleh pasukan jin. “Wah, bagaimana ini?”, ujar Roro Jonggrang dalam hati. Ia mencari akal. Para dayang kerajaan disuruhnya berkumpul dan ditugaskan mengumpulkan jerami. “Cepat bakar semua jerami itu!” perintah Roro Jonggrang. Sebagian dayang lainnya disuruhnya menumbuk lesung. Dung… dung…dung! Semburat warna merah memancar ke langit dengan diiringi suara hiruk pikuk, sehingga mirip seperti fajar yang menyingsing.

Pasukan jin mengira fajar sudah menyingsing. “Wah, matahari akan terbit!” seru jin. “Kita harus segera pergi sebelum tubuh kita dihanguskan matahari,” sambung jin yang lain. Para jin tersebut berhamburan pergi meninggalkan tempat itu. Banndung Bondowoso sempat heran melihat kepanikan pasukan jin.

Paginya, Bandung Bondowoso mengajak Roro Jonggrang ke tempat candi. “Candi yang kau minta sudah berdiri!”. Roro Jonggrang segera menghitung jumlah candi itu. Ternyata jumlahnya hanya 999 buah!. “Jumlahnya kurang satu!” seru Loro Jonggrang. “Berarti tuan telah gagal memenuhi syarat yang saya ajukan”. Bandung Bondowoso terkejut mengetahui kekurangan itu. Ia menjadi sangat murka. “Tidak mungkin…”, kata Bondowoso sambil menatap tajam pada Roro Jonggrang. “Kalau begitu kau saja yang melengkapinya!” katanya sambil mengarahkan jarinya pada Roro Jonggrang. Ajaib! Roro Jonggrang langsung berubah menjadi patung batu. Sampai saat ini candi-candi tersebut masih ada dan terletak di wilayah Prambanan, Jawa Tengah dan disebut Candi Roro Jonggrang.


Baiklah , sekian pembahasan pada Blog kali ini, jika ada kesilapan mohon maaf
Wassalamu'alaikum Wr.Wb :)

Sumber http://www.dongengkakrico.com



(SELESAI)

Read More

Menyelemi kehidupan masa kolonial melalui "Bumi Manusia" karya Pramoedya Ananta Toer

 


Judul: Bumi Manusia

Penulis: Pramoedya Ananta Toer

Penerbit: Lentera Dipantara (Cetakan XIII, Mei 2008)

Halaman: 535

Bumi Manusia mengisahkan cerita tentang Minke, seorang siswa H. B. S. dan keturunan priyayi Jawa. Cerita ini mengambil latar belakang Indonesia tahun di awal abad ke-20. Pada masa itu Indonesia sedang mencoba bangkit melawan kolonialisme Belanda.



Minke, pemuda tampan juga pintar, suatu hari mengunjungi Boerderij Buitenzorg atas ajakan temannya, Robert Suurhof. Pemilik tempat itu adalah seorang nyai yang biasa dipanggil Nyai Ontosoroh, karena lidah pribumi di sana tidak dapat melafalkan Buitenzorg. Nama itu melekat di dirinya dan meninggalkan nama lahirnya, yaitu Sanikem.


Minke diperkenalkan dengan Annelies, anak perempuan Nyai Ontosoroh. Annelies, yang sebelumnya tidak pernah menerima tamu dan jarang bergaul, seketika kesengsem berat dengan Minke. Begitu mudahnya ia jatuh cinta pada pria yang mendaratkan ciuman di pipinya ketika mereka sedang berjalan-jalan di kebun. Melihat anak gadisnya yang jatuh cinta, Nyai Ontosoroh menawari Minke untuk tinggal di rumahnya.

Sejak pertama kedatangannya ke rumah itu, Minke sudah seperti terhipnotis. Dia terpukau dengan kecantikan Ann dan terkagum-kagum dengan kemandirian Nyai. Nyai tidak hanya mandiri, melainkan juga cerdas. Semua pembukuan, urusan administrasi perusahaan, dipegang oleh Nyai meski Nyai tidak pernah mengecap pendidikan.

Timbul rasa penasaran pada diri Minke atas keluarga ini. Dari mana Nyai bisa mempelajari semua ini? Siapa yang mengajarinya? Siapa tuan dari Nyai? Bagaimana dengan anak lelakinya, Robert Hellema?

Namun, sempat timbul keraguan dalam diri Minke. Anggapan umum tentang nyai yang rendah, jorok, tanpa kebudayaan, perhatiannya hanya pada soal-soal berahi semata (hal. 75) membuat Minke berpikir ulang akan tawaran Nyai Ontosoroh. Tetapi, Nyai berbeda dari anggapan umum.

Untuk hal ini Minke butuh nasihat. Maka datanglah dia mengunjungi sahabatnya, Jean Marais, orang Prancis dan seorang veteran Perang Aceh. Jean Marais menasihati Minke:

Pendapat umum perlu dan harus diindahkan, dihormati, kalau benar. Kalau salah, mengapa dihormati dan diindahkan? Kau terpelajar, Minke. Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.” (hal. 77)

Minke menuruti nasihat sahabatnya itu. Pada akhirnya dia menjadi penghuni Boerderij Buitenzorg.

Minke pandai menulis dalam bahasa Belanda. Dia sering mengirim tulisan ke koran S.N. v/d D. Suatu ketika Nyai menyerahkan selembar koran S.N. v/d D. Ia menunjukkan sebuah cerpen dan menanyakan apakah Minke yang menulis cerpen tersebut. Minke membenarkan. Nyai mendukungnya. Ia berkata:

“Cerita, Nyo, selamanya tentang manusia, kehidupannya, bukan kematiannya. Ya, biar pun yang ditampilkannya itu hewan, raksasa atau dewa atau hantu. Dia tak ada yang lebih sulit dapat difahami daripada sang manusia. … Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar pengelihatanmu setajam mata elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal kemput.” (hal. 164 – 165)

Minke pun semakin semangat menulis. Kelak dia akan menggunakan keahliannya tersebut dalam melawan ketidakadilan yang diberikan Pengadilan Putih.

Bumi Manusia adalah buku pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Buku ini pertama kali diterbitkan oleh Hasta Mitra pada tahun 1980. Buku ini ditulis oleh Pram ketika dia mendekam di Pulau Buru. Mulanya Pram menceritakan secara lisan kisah Bumi Manusia kepada rekan-rekannya di Pulau Buru sebelum akhirnya ditulis ulang oleh Pram di tahun 1975.

Tahun 1981 Kejaksaan Agung melarang beredarnya buku ini selama beberapa waktu. Kejaksaan Agung menuduh buku ini mempropagandakan ajaran Marxisme, Leninisme, dan Komunisme. Padahal setelah saya baca, saya tidak menemukan ajaran kiri di sini. Saya menemukan Minke yang beragama Islam dan masih memuja peradaban Barat.

Menurut saya, Bumi Manusia lebih banyak bercerita tentang kisah cinta Minke dan Annelies. Meski tetap ada cerita ketidakadilan dan diskriminasi. Humanisme juga menjadi topik di roman ini.

Meskipun saya memberi rating 5/5, saya tidak memiliki tokoh favorit di sini. Jikalau banyak orang kagum dengan Nyai Ontosoroh atas kemandiriannya, keteguhannya, pemikirannya yang tergolong progresif untuk wanita–seorang gundik pula. Apakah Nyai adalah seorang feminis?–pada jaman itu, dan kecerdasannya, saya justru melihat Nyai sebagai sosok yang penuh amarah dan dendam. Mengingat latar belakangnya yang dijual bapaknya sendiri untuk menjadi gundik Tuan Herman Mellema, sikapnya itu bisa dimengerti sih.

Lalu, Minke. Entah kenapa saya tidak tertarik dengan dia. Padahal dia juga seperti Nyai, yang cerdas dan pemikirannya berbeda dari Pribumi kebanyakan. Hanya saja saya tidak suka dengan dia yang terlalu lembek terhadap Annelies. Saya tidak menyangka begitu mudahnya Minke jatuh cinta dengan Ann, yang dideskripsikan kecantikannya melebihi kecantikan Ratu Wilhemina di Belanda.

Baiklah, Minke jatuh cinta pada pandangan pertama karena tersihir dengan kecantikan Ann. Tapi, Minke bisa tahan dengan sikap manja dan gampang merajuknya Ann? Skala 1 – 10 maka saya akan beri nilai 10 untuk sifat manja Ann.

Terakhir, Annelies. Ini sudah jelas. Saya tidak suka Ann. Sifat manjanya pada Nyai Ontosoroh dan Minke bikin saya tidak tahan. Kelewatan betul manjanya Ann ini. Ia seperti anak kecil yang sedang tantrum, merajuk segala keinginannya harus terpenuhi. Padahal Mamanya sudah mendidiknya untuk tidak manja.

Memang Annelies sendiri sudah dianalisa kejiwaannya oleh Dokter Martinet. Kita jadi tahu mengapa Ann bersikap manja dan rapuh begitu. Tuan Dokter menjelaskannya panjang lebar pada Minke di halaman 371 hingga 384. Bahkan Tuan Dokter juga menganalisa Minke.

Ini yang menarik bagi saya. Dokter Martinet rajin sekali menganalisa satu keluarga Boerderij Buitenzorg, terutama Annelies. Saya jadi berpikir jangan-jangan Tuan Dokter ini juga menaruh minat pada ilmu kejiwaan. Kalaupun memang betul, pasti Tuan Dokter beraliran Psikoanalisa. Hal ini terlihat di halaman 379 ketika dia menasihati Minke:

“Pada saat yang diperlukan,” ia mulai menasihati, “Tuan harus berani belajar dan belajar berani memandang diri sendiri sebagai orang ketiga. Maksudku bukan seperti yang diajarkan dalam ilmu bahasa saja. Begini: sebagai orang pertama Tuan berpikir, merancang, memberi komando. Sebagai orang kedua, Tuan penimbang, pembangkang, penolak sebaliknya bisa juga jadi pembenar, penyambut. Tuan yang pertama. Tuan yang ketiga–siapa dia?–itulah Tuan sebagai orang lain, sebagai soal,” ia mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jarinya. “Sebagai pelaksana, sebagai orang lain yang Tuan lihat pada cermin.”

That is psychoanalysis, my friend. Tuan Dokter membicarakan id, ego, dan superego.

Sampai akhirnya saya menamatkan Bumi Manusia ada pertanyaan yang menggantung: Kenapa Dokter Martinet harus membius Annelies setiap dia sakit? Apakah Ann begitu lemahnya dan tidak mempan dengan pengobatan apapun sehingga Dokter Martinet mencari “aman” saja dengan membius Ann? Padahal kan terlalu banyak bius juga tidak baik. Saya curiga jangan-jangan Ann ini sebenarnya psikosomatis.

Lalu, apa yang membuat saya memberikan rating 5/5 untuk Bumi Manusia? Karena ceritanya yang memikat. Tentang kolonialisme, diskriminasi, humanisme, ketidakadilan, semuanya diramu Pram dengan luar biasa. Pasti Pram telah melalui banyak riset untuk bisa menulis cerita luar biasa ini hingga bisa begitu terasa luapan emosi dan karakter tokoh-tokoh, deskripsi tempat yang detil, juga latar belakang sejarah kolonialisme yang membuat kita jadi tahu setting cerita ini. Juga gaya bahasa Pram yang berbeda dari yang lain menarik saya untuk terus membaca hingga tamat. Dan pada akhir kisahnya yang meninggalkan pesan yang mendalam:

Sayup-sayup terdengar roda kereta menggiling kerikil, makin lama makin jauh, akhirnya tak terdengar lagi. Annelies dalam pelayaran ke negeri di mana Sri Ratu Wilhelmina bertahta. Kami menundukkan kepala di belakang pintu.

“Kita kalah, Ma,” bisikku.

“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”


        


        Baiklah , sekian pembahasan pada Blog kali ini, jika ada kesilapan mohon maaf
Wassalamu'alaikum Wr.Wb :)




Read More